Siwalan alias lontar Borassus flabellifer tergolong flora asli tanahair. Kerabat palem itu punya andil membentuk sejarah dan budaya bangsa ini, berkat buah, batang, air nira, bahkan daun yang bermanfaat. Sejak abad ke-14, daun lontar menjadi media tulis layaknya kertas. Kitab-kitab terkenal dari zaman Majapahit seperti Negarakertagama, Ramayana, dan Arjunawiwaha ditulis di atas daun lontar. Di Rote dan Timor, daun lontar menjadi bahan pembuatan alat musik tradisional sasando. Daun dibentuk seperti perahu berfungsi sebagai resonator atau tempat resonansi nada.
Masyarakat Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, menggunakan daun lontar sebagai bahan pakaian. Mereka membuang lidi pada daun muda, mengikis daun dengan pisau hingga menyisakan serat, serta menenun menjadi sarung dan cawat. Tangkai daun lontar muda (pohon setinggi 4 m) juga bermanfaat sebagai bahan songkok, keranjang, dan tikar. Begitulah kepiawaian masyarakat Sulawesi Selatan. Kayu pohon siwalan berwana hitam menyerupai eboni, dengan urat berupa garis-garis kuning. Di tanahair, kayu sebagai bahan bangunan, untuk kusen pintu, jendela, dan rangka atap. Kayu lontar bagus asal tidak terkena air sehingga terhindar dari kelapukan. Selain itu, kayu juga bahan perabot rumah tangga seperti meja dan kursi.
Sayangnya, pohon serbaguna dan tahan lama itu kini kalah pamor. Banyak orang melupakannya. Padahal, lontar tak menuntut macam-macam, karena sangat adaptif. Di daerah kering seperti Kupang atau tempat-tempat lembap di Kebun Raya Bogor terbukti bisa tumbuh. Asal drainase tanah bagus, lontar bakal hidup.
0 comments:
Posting Komentar