Penulis: Adian Husaini
|
Harian
Republika (20/4/2009) menurunkan berita berjudul “Tiga Tantangan Dakwah Umat
Islam”. Berita itu mengutip bagian orasi ilmiah yang saya sampaikan di Aula
Masjid al-Furqan - Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada 18 April 2009. Tiga
tantangan dakwah eksternal itu saya ambil dari rumusan Mohammad Natsir yang
disampaikan kepada sejumlah cendekiawan Muslim pada tahun 1986-1987.
Ketika itu, sejumlah cendekiawan – seperti Dr. M. Amien Rais, Dr.
Kuntowijoyo, Dr. Yahya Muhaimin, Dr. A. Watik Pratiknya, dan Endang S.
Anshari -- melakukan wawancara intensif dengan Dr. Mohammad Natsir. Mereka
menggali pemikiran Natsir dengan sangat intensif. Berulangkali wawancara
dilakukan. Sayang, hasil rekaman wawancara itu kemudian tidak terselamatkan.
Dokumen yang tersisa hanya sebuah buku setebal 143 halaman, berjudul
Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989).
Tentu saja, buku ini menjadi sangat penting, karena merekam pemikiran dan pesan-pesan
perjuangan Dr. Mohammad Natsir kepada generasi pelanjutnya. Natsir memang
dikenal sebagai seorang pejuang dan pemikir Islam, yang pada 7 November
2008 diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI.
Kiprah M. Natsir dalam perjuangan Islam dikenal secara luas, bukan hanya di
Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Meskipun buku Percakapan Antar
Generasi itu mengemukakan gagasan-gagasan singkat, tetapi banyak pemikiran
penting yang bisa dipetik dari seorang M. Natsir, yang ketika itu sampai pada
tahap-tahap kematangan pemikirannya, setelah berkiprah dalam dunia dakwah
lebih dari 60 tahun.
Dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, M.
Natsir menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam
Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi, dan (3) gerakan
nativisasi. Sepanjang hidupnya, Natsir sangat peduli dengan ketiga
tantangan dakwah tersebut.
Untuk menanggulangi Kristenisasi, Natsir aktif menggerakkan kader-kader
Muslim untuk membendung arus Kristenisasi. Ia pun aktif menulis buku-buku
seputar Kristenisasi. Meskipun berteman dengan sejumlah tokoh Kristen, Natsir
tidak rela umat Islam menjadi sasaran gerakan pemurtadan melalui
Kristenisasi. Berikut ini, sebuah contoh imbauan M. Natsir kepada kaum
Kristen di Indonesia:
"Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu bi anna muslimuun.
Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang
yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai
identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu,
jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama-agama jangan
jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu. Marilah saling
hormat menghormati identitas kita masing-masing, agar kita tetap bertempat
dan bersahabat baik dalam lingkungan "Iyalullah" keluarga Tuhan
yang satu itu.
Kami ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang
bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan
orang-orang yang mengganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap
zalim bila berbuat demikian (almumtahinah). Dengan sepenuh hati kami harapkan
supaya saudara-saudara tidaklah hendaknya mempunyai hasrat sebagaimana
idam-idaman sementara golongan orang-orang Nashara yang disinyalir dalam Al
Quran yang tidak senang sudah, bila belum dapat mengkristenkan orang-orang
yang sedang beragama Islam. Mudah-mudahan jangan demikian, sebab kalau
demikian maka akan putuslah tali persahabatan, akan putus pula tali suka dan
duka yang sudah terjalin antara kita semua.
Jangan-jangan nanti jalan kita akan bersimpang dua dengan segala akibat yang
menyedihkan. Baiklah kita berpahit-pahit, kadang-kadang antara saudara dengan
saudara ada baiknya kita berbicara dengan berpahit-pahit, yakni yang demikian
tidaklah dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan.
Sebab, kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu
ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak
cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan
ini." (Seperti dikutip oleh Prof. Umar Hubeis dalam mukaddimah buku
Dialog Islam dan Kristen, yang ditulis oleh Bey Arifin, 1983:28-29).
Jadi, kata M. Natsir: "harta yang kami cintai dari segala-galanya
itu ialah agama dan keimanan kami". Ungkapan itu mengindikasikan
keseriusan seorang Muslim yang peduli dengan aqidah umat. Bagi seorang
Muslim, mempertahankan keimanan adalah hal terpenting. Tugas berikutnya
adalah melaksanakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, yakni
memperjuangkan tegaknya kebenaran dan mencegah serta melawan kemunkaran, yang
sering diistilahkan oleh M. Natsir sebagai aktivitas “binaa’an wa difaa’an.”
Tantangan kedua yang disebutkan M. Natsir adalah sekularisasi. Dalam pesannya
kepada generasi Amien Rais dan kawan-kawan tersebut, M. Natsir menyatakan
bahwa selain timbul secara ”alamiah” akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sekularisasi juga dilakukan secara aktif oleh sejumlah kalangan.
Menurutnya, sekularisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah.
Tentang hal ini, M. Natsir menyatakan:
”Namun demikian, proses sekularisasi yang terjadi seperti ”alamiah”
sejalan dengan perkembangan zaman di atas, rupanya dihidup-hidupkan oleh
sekelompok orang. Saya sebut ”dihidup-hidupkan” karena memang kita mengetahui
ada usaha aktif untuk terjadinya proses sekularisasi ini. Di tahun
tujuh-puluhan kita ingat adanya ”gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang
mereka sebut ”pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini,
ada ”reaktualisasi”, ada ”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada
usaha aktif.
Proses sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita.
Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang terbatas,
tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan
bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religius. Proses sekularisasi
juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku
maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim
khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi ini, baik
yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.”
Ketika itu, M. Natsir sangat prihatin dengan gerakan pembaruan Islam dan sekularisasi
yang digerakkan oleh Nurcholish Madjid. Pada 3 Januari 1970, Nurcholish
Madjid, yang ketika itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa
Islam Indonesia (HMI), secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan
sekularisasi Islam dan juga proses Liberalisasi. Dalam makalahnya yang
berjudul: “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”,
Nurcholish Madjid menyatakan: “…pembaruan harus dimulai dengan dua
tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.
Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan,
harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu
proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...” Untuk itu, menurut
Nurcholish, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1)
sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’
dan ‘Sikap Terbuka’.
Sebagai orang tua yang mengaku sangat berharap pada Nurcholish Madjid,
Natsir akhirnya kecewa dengan gagasan dan gerakan sekularisasi tersebut. Pada
1 Juni 1972, dilakukan pertemuan tokoh-tokoh di kediaman M. Natsir.
Semula, pertemuan itu bukan untuk membahas fenomena gagasan Pembaharuan,
tetapi akhirnya hal itu menjadi pembahasan pokok ketika Natsir mengungkapkan
masalah tersebut. Meskipun mengaku sudah menganggap Nurcholish Madjid seperti
“anak sendiri”, tetapi Natsir mengaku risau dengan hasrat gagasan Pembaharuan
yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.”
(Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan
Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987),
Natsir sendiri memandang bahwa modernisasi dalam Islam harus diartikan
sebagai ”kembali kepada yang pokok atau keaslian”, bukan ”menyimpang dari
yang telah ada, tanpa melihat baik dan buruknya”. Sedangkan pengertian
”Tajdid”, Natsir mengutip dari tokoh Muhammadiyah KH Faqih Usman, yaitu
”mengintrodusir kembali apa yang dulu pernah ada tetapi ditinggalkan.” Yaitu,
”membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi oleh ”noda-noda”.”
(Lihat, Percakapan antar-Generasi, hal. 25-26).
Karena memandang sekularisasi dan sekularisme sebagai ancaman yang serius
bagi umat Islam, maka M. Natsir mencurahkan segenap tenaganya untuk
menghadapi paham seperti ini. Bahkan, pada hampir sebagian besar masa
hidupnya, Natsir telah melibatkan diri secara aktif dalam upaya menanggulangi
dan melawan gerakan sekularisasi. Sebelum masa kemerdekaan, bersama gurunya,
A. Hassan, Natsir sudah terlibat polemik dengan Soekarno.
Setelah merdeka, Natsir terus berjuang menawarkan Islam sebagai solusi bagi
bangsa Indonesia dan menjelaskan bahaya sekularisme. Pada Sidang
Konstituante pada 13 November 1957, Natsir menyampaikan pidato yang
bersejarah tentang Islam dan sekularisme. Ketika itulah, Natsir mengupas
tuntas kelemahan sekularisme, yang dia katakan sebagai paham tanpa agama,
atau la diiniyah.
Sekularisme, kata Natsir, adalah suatu cara hidup yang mengandung paham,
tujuan, dan sikap hanya di dalam batas keduniaan. ”Seorang sekularis tidak
mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengatahuan.
Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah
ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada
kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka,” ujar Natsir.
Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan
Islam sebagai dasar negara RI. Kata Natsir, ”Jika dibandingkan dengan
sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan
lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat
dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep
dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah
pertanyaan, ”Di mana sumber perikemanusiaan itu?”
Jika ditelaah, pidato Natsir itu sangat mendasar sifatnya. Natsir sudah
mengkritik paham ”kemanusiaan” yang dijadikan pilihan bagi kaum sekular yang
menafikan peran Tuhan sebagai sumber kemanusiaan. Padahal, paham kemanusiaan
inilah yang kini dijadikan banyak orang untuk melandasi konsep-konsep HAM.
Demi ”kemanusiaan”, kaum sekular memandang baik perkawinan sesama jenis dan
perkawinan lintas agama. Juga demi kemanusiaan, kaum sekular memandang
perzinahan sebagai hal yang baik, selama dilakukan suka sama suka. Begitu
juga, dengan alasan ”kemanusiaan” dan ”nilai kesenian”, kaum
sekular mendukung hak untuk ”bertelanjang” dengan alasan ”kebebasan
berekspresi”.
Karena itulah, Natsir mempersoalkan, ”di mana sumber kemanusiaan”?
Islam menegaskan, bahwa sumber nilai kemanusiaan adalah wahyu, bukan perasaan
manusia atau budaya manusia. Karena wahyu, maka ia bersifat universal, abadi,
dan pasti. Seorang Muslim, misalnya, pasti mengasihi sesama makhluk, karena
berdasarkan pada keimanannya. Tetapi, Nabi Ibrahim a.s. terpaksa harus
berpisah dengan ayahnya karena urusan keimanan. Sejumlah muslimah di Mekkah
memilih untuk meninggalkan suami mereka karena urusan iman. Aspek ”iman”
inilah yang luput dari pemikiran kaum sekular. Kaum feminis sekular yang
menolak konsep ”pengabdian pada suami” bagi wanita, menafikan aspek iman.
Padahal, banyak muslimah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya karena yakin,
bahwa mentaati perintah suami adalah satu bentuk ibadah.
Karena itulah, Natsir mengajak bangsa Indonesia untuk secara serius
meninggalkan pandangan hidup sekular. Karena perhatiannya yang begitu
serius terhadap masalah sekularisme ini, Natsir memang tidak sejalan dengan
gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Natsir juga mendukung usaha Prof. HM
Rasjidi yang menerbitkan dua buku berisi kritik terhadap pemikiran Nurcholish
Madjid. Tahun 1972, Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi:
Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan
Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu
Koreksi Lagi bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).
Sebagai seorang senior yang berpengalaman belajar pada para orientalis di
Barat dan juga mengajar di McGill University, Prof. Rasjidi seperti tidak
tahan lagi melihat kekeliruan pemikiran Nurcholish Madjid. Dalam
kritik-kritiknya, Rasjidi juga mengupas upaya Nurcholish Madjid yang
’arbitrair’ (semena-mena) dalam menggunakan istilah tertentu.
Tantangan ketiga yang disebut M. Natsir adalah ”nativisasi”. Upaya ini
dilakukan baik secara sistematis atau tidak, untuk menafikan peran Islam
dalam pembentukan kebudayaan Indonesia. Islam dianggap sebagai barang asing
yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Upaya nativisasi ini telah kita
bahas dalam CAP 259, sebagaimana dilakukan oleh orientalis Belanda, seperti
Snouck Hurgronje. [www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara
Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com |
0 comments:
Posting Komentar